Kisah Inspirasi Dari Gunung

oleh Harley B. Sastha pada 19 Februari 2011 jam 4:38

Masa kecil lelaki ini pernah terserang penyakit asma. Bahkan sejenis penyakit yang menyerang jaringan otak pernah dialaminya. Hingga suatu saat perkenalan dirinya dengan kegiatan alam bebas sperti mendaki gunung merubah segalanya. Sejak itu semua penyakitnya hilang sama sekali dan dirinyapun nyaris tidak pernah meminum obat-obatan kimia seperti obat sakit kepala, flu dan lain-lain yang biasa di jual bebas. Apa yang di dapatnya dari alam telah menjadi obat bagi dirinya. Hingga kini ia pun masih aktif melakukan pendakian.
Seorang wanita berpenyakit asma dikucilkan dan dianggap lemah oleh lingkungannya. Namun, suatu saat kakak saya mendampinginya mendaki gunung bersama-sama. Tekad serta kekuatan yang ada pada dirinya membawanya hingga ke Puncak Gunung Ciremai. Begitu tiba kembali di bawah, orang tuanya seakan hampir tidak percaya kalau putrinya bisa mendaki gunung. Ibunya pun menangis. Kini lingkungannya tidak lagi meremehkan dirinya. Ia pun tumbuh menjadi seorang wanita yang lebih percaya diri.
Lelaki berusia lebih 40 tahun ini mempunyai kelainan pada klep jantungya. Tekadnya untuk mendaki Gunung Rinjani tidak terhalangi oleh penyakitnya ini. Ia yakin dengan apa yang ada pada dirinya. Kami mendaki bersama-sama sesuai dengan kemampuan kondisi fisik yang ada. Perlahan namun pasti kami terus mendaki menambah ketinggian. Saat harus bangun dinihari untuk melanjutkan pendakian menuju Puncak Rinjani pun tetap dijalaninya. Selangkah demi selangkah ia terus mendaki. Walaupun sebentar-sebentar harus berhenti. Hanya sebuah kata-kata penyemangat yang selalu mengiringinya “ayo bang...insyaAllah abang pasti bisa...yang penting sesuaikan dengan kemampuan abang...kami yang akan ikutin langkah abang”. Hingga saat tiba di gigiran kawah Gunung Rinjani, dimana dirinya bisa dikatakan sudah tidak jauh lagi untuk menggapai puncak, tiba-tiba ada teriakan meminta pertologan dari atas. Seorang anak perempuan terken hipotermia. Dengan legowo ia mengatakan, agar saya lebih dulu menolong anak itu. Sedangkan ia rela untuk menunda dirinya untuk ke puncak. Saat saya tinggalkan ia ditemani seorang teman yang sudah turun dari puncak. Alhamdulillah semuanya berjalan baik. Wanita yang hipotermia dapat tertolong. Demikian pula abang dapat kembali turun ke pelawangan didampingi teman-teman yang lain. Perlengkapan oksigen yang kami bawa hanya terpakai sebagian. Paling tidak ini menjadi persiapan kami untuk menghadapi kondisi yang mungkin buruk dan alhamdulillah tidak sampai terjadi.
Mendaki gunung menggapai 7 puncak Merbabu bersama beberapa wanita, dimana sebagian besar sudah berusia di atas 35 tahun dan bahkan ada yang berusia 40-50 tahun merupakan pengalaman lainnya. Ada yang baru pertama kali mendaki gunung. Diantara mereka ada yang kondisi fisiknya bekas mengalami kecelakaan yang cukup berat. Dimana hingga kini bekas kecelakaan tersebut masih membekas pada dirinya. “apakah saya sanggup bang?”, begitu tanyanya. Saya hanya menjawab insyaAllah. Alhamdulillah ia pun sanggup menjalaninya dan hingga kini masih terus mendaki gunung. Demikian pula dengan yang lain. Meraka masih terus mendaki gunung.
“Saya ingin membawa anak saya yang berusia 9 tahun mendaki Gunung Salak”, demikian ucapnya. Bersama dengan teman-teman lainnya kami mendaki bersama. Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan hingga hujan, kami akhirnya tiba di Puncak Salak 1 saat gelap. Sekali lagi usia teman-teman yang bisa dikatakan rata-rata sudah berusia di atas 35 tahun masih menunjukkan ketangguhannya. Kekompakkan serta kerjasama tim yang mereka tunjukkan adalah kunci keberhasilan pendakian ini.
Belum genap sebulan, sang bunda pun kembali mengajak anaknya yang berusi 9 tahun mendaki Gunung Semeru. Semangat sang bunda beserta tekad sang anak dengan support teman-teman seperjalanan membuat pendakian menuju Puncak Mahameru pun tercapai. Nampak pancaran mata bahagia terlihat dari sang bunda. Senyum sang anak di bawah bendera merah putih di Puncak Mahameru begitu membanggakan dirinya. Sang bunda percaya...anaknya nanti akan tumbuh menjadi orang yang kuat, tegar, kreatif dan mandiri.
Di saat lain seorang wanita pun tidak bisa berkata-kata saat dirinya akhirnya tiba di Puncak Mahameru. Walaupun harus terus berjuang keras menerjang pasir...ia terus mendaki. Semangat sang anak kecil usia 9 tahun yang menjadi teman setimnya menjadi salah satu pendorongnya. Ia melihat sang anak telah jauh berada di atas dirinya. Tekad dan semangat tidak pantang menyerah terus memacunya. Hingga ia pun tiba di Punca Mahameru. Air mata bahagia pun akhirnya keluar. Hanya binar matanya yang bisa bercerita kalau dirinya begitu bahagia dan hampir tidak percaya kalau kini dirinya benar-benar telah berada di dataran tertinggi Pulau Jawa. Ya...impiannya selama 10 tahun akhirnya dapat tercapai. Ia pun mengatakan jika impian dan keyakinan jika disertai dengan doa dan usaha keras bukanlah angan-angan.
Lain halnya dengan wanita satunya lagi. Pada saat harus menerjang pasir menuju Puncak Mahameru, ia sempat berkata “sanggup gak ya...”. Teman lainnya dengan tanggap mensuport dan meyakinkannya bahwa dirinya isnyaAllah sanggup. Perlahan namun pasti dirinya terus mendaki dan kakinya pun menapak Puncak Mahameru. Walau sebelumnya ia sempat terkesima begitu melihat punggungan pasir Puncak Mahameru dari Kalimati. Baginya gunung ini besar dan terlihat curam serta berpasir hingga sempat memunculkan keraguan pada dirinya. Namun, sekali lagi kekuatan yang ada pada diri sendiri diiringi doa serta kerjasama dan kekompakkan tim membuat semuanya berjalan dengan baik.
Terkena badai hampir dua hari saat mendaki Gunung Sumbing membuat pendakian terasa lebih berat. Namun, pelajaran-pelajaran dari setiap pendakian yang dijalani sebelumnya membuat mereka lebih aware satu sama lain. Wanita-wanita ini begitu cepat dan tanggap saat salah seorang teman prianya mengalami kelelahan. Mereka sigap saat membangun tenda, walaupun saat itu angin disertai hujan bertiup kencang. Hingga keesokan harinya saat cuaca sedikit berkurang hujannya, mereka segera melanjutkan pendakian menuju puncak dan kembali turun secepatnya. Karena cuaca cepat sekali berubah dimana huan dan angin kencang kembali datang.
Mengalami badai hampir 2 hari tidak menciutkan nyali mereka. Dua hari setelah badai, saya bersama dua wanita sahabat saya tiba di Bali. Malam itu langit di atas Pulau Bali dari Pantai Sanur terlihat penuh bintang. Padahal perjalanan kami dari Jawa Tengah ke hingga ke ujung Jawa Timur, nyaris tanpa sinar matahari. Sepanjang perjalanan semuanya terlihat mendung dan kelabu.
Mengetahui cuaca yang cukup cerah malam itu, kami bertiga pun memutuskan untuk mendaki Gunung Agung esok harinya. Malam itu kami segera semua perlengkapan pendakian. Esok paginya bersama seorang teman dari Universitas Udayana, kami menuju Pura Besakih, entri point pendakian ini. Oleh koordinator guide dan polisi Besakih, kami ditawarkan mendaki melalui Dusun Junggur, Besakih. Jalur pendakian yang resmi dibuka 29 Desember 2010 silam. Setelah mendapatkan informasi mengenai jalur ini, kami pun menyetujuinya. Benar, seperti dugaan kami, jalur ini bisa dikatakan 90 persen mempunyai sudut kemiringan antara 40-60 derajat. Namun, jalurnya masih sangat baik dan hutannya pun masih asri. Sampai-sampai kami begitu senangnya melalui jalur ini. Walaupun cukup banyak pacet, namun pendakian melalui trek punggungan ini menyenangkan. Jalurnya benar-benar masih asri. Malam itu kami benar-benar bersyukur, karena cuaca cukup cerah. Hingga kami pun tiba di camp saat hampir tengah malam atau 7 jam perjalanan. Hanya ada sedikit tempat datar yang dapat menampung sebuah tenda kami.
Setelah esok pagi harinya melanjutkan pendakian hingga tiba Puncak Gunung Agung, sekitar pukul 12 siang, kami pun turun kembali menuju Basecamp di Dusun Junggur. Saat itu hujan dan angin sudah mulai datang. Hingga akhirnya kami pun turun dalam kondisi badai. Di lembah kanan dan kiri kami terdengar suara angin kencang berputar-putar. Hujan yang turun terasa seperti sebesar-besar jari kelingking. Jalur yang curam pun kini berubah menjadi aliran sungai lumpur. Suara geluduk sesekali bersahut-sahutan. Beberapa kali kami harus terpeleset dan berjibaku dengan lumpur. Hingga akhirnya memasuki malam. Hujan badai tidak ada tanda-tanda segera berhenti. Angin kencang yang bertiup membuat tubuh terasa semakin dingin. Jalur pendakian terasa semakin berat dan melelahkan kami. Untuk saling bantu dan jaga, kami pun sesekali saling berpegangan tangan. Hingga akhirnya setelah 12 jam berjalan turun, kami pun tiba kembali di Basecamp, Dusun Junggur, Besakih.
Semangat dan daya juang kedua wanita yang saya kenal ini cukup tangguh. Dimana yang satu baru saja melewati operasi. Sedangkan satunya lagi pernah mengalami kecelakaan berat....dimana akibat dari kecelekaan tersebut masih membekas dan dibawanya hingga kini. Semua itu tidak mematahkan semangat mereka. Mereka berdua mengatakan bahwa untuk mereka mendaki gunung karena memang mereka senang. Sehingga dalam setiap pendakian, mereka selalu dari hati. Apapun yang dialami dalam pendakian, itulah arti petualangan. Semuanya harus dihadapi.
Usia teman-teman dalam kisah-kisah nyata pendakian di atas bisa dibilang sebagian besar sudah tidak muda lagi. Namun, semangat dan tekad yang ada pada dirinya masing-masing serta persiapan yang matang selalu coba terus mereka utamakan. Dalam artian mereka selau terus berusaha lebih baik dan lebih baik lagi dalam pendakian-pendakian selanjutnya.



“Sudah banyak wanita-wanita di dunia dan bahkan di Indonesia membuktikan ketangguhannya mendaki gunung serta mengukir prestasi dalam dunia pendakian gunung sebagaimana halnya para pria”. Beberapa diantaranya melakukan pendakian gunung untuk berbagai kegiatan sosial. Pendakian 10 Wanita usia diatas 40 tahun dalam rangka penggalangan dana untuk Yayasan Lupus Indonesia. Ekspedisi ini di mulai dari gunung di Kalapattar, Himalaya (2006); Kilimanjaro, Tanzania (2009). Pencapaian pertama di Ekuador terjadi pada 25 Januari 2011; Gunung Cotopaxi pada 28 Januari 2011. Inilah salah satu bentuk kepedulian dedikasi mereka akan pentingnya mengetahui akan bahaya penyakit Lupus. Dimana dalam sebuah suvey terindikasi bahwa 9 dari 10 orang dengan Lupus (ODAPUS) adalah wanita dan terdeteksi lebih banyak menyerang pada masa produktif (usia 15-44). Jumlah penderitanya diyakini lebih besar dari yang berhasil terdeteksi, sementara pemahaman mengenai penyakit ini masih sangat minim.



Tidak terkecuali tentunya para pria. Banyak ekspedisi yang telah dilakukan para pendaki pria. Baik itu yang sifatnya prestasi maupun untuk kegiatan sosial. Baik itu di dunia maupun di Indonesia sendiri.



Lepas dari itu semua. Baik lelaki atau wanita. Tua maupun muda. Dalam kegiatan di alam bebas semuanya menyatu. Tidak ada perbedaan satu sama lain. Satu sama lain semuanya seperti keluarga.



Seperti kata-kata seorang teman baik saya, sebut saja namanya -Java Rhino- yang kini tinggal di Kanada: "mendaki gunung untuk persaudaraan".





Cerita di atas merupakan sebagian dari kisah-kisah nyata pendakian yang saya alami bersama teman-teman. Sebenarnya masih banyak kisah-kisah nyata pendakian lainnya yang bisa jadi inspirasi untuk kita semua. Bahkan teman-teman pasti juga mempunyai kisah-kisah pendakiannya sendiri yang juga bisa jadi inspirasi. Mudah-mudahan cerita-cerita singkat di atas dapat bermanfaat.



Bogor, 19 Februari 2011

Harley B. Sastha

0 Response to "Kisah Inspirasi Dari Gunung"

Posting Komentar